Unknown
 "Ini adalah paradoks kembar untuk 'anak tunggal' kuantum, dan membutuhkan relativitas umum serta mekanika kuantum. Interaksi antara kedua teori ini belum pernah diselidiki dalam percobaan."
Penyatuan mekanika kuantum dan relativitas umum Einstein merupakan salah satu pertanyaan yang paling menarik dan masih terbuka dalam fisika modern. Dalam relativitas umum, gabungan teori gravitasi, ruang dan waktu memberikan prediksi-prediksi yang menjadi bukti jelas pada skala kosmik bintang dan galaksi. Di sisi lain, efek kuantum bersifat rapuh dan biasanya terobservasi pada skala kecil, misalnya ketika mempertimbangkan partikel tunggal dan atom. Itulah mengapa sangat sulit untuk menguji interaksi antara mekanika kuantum dan relativitas umum.
Kini, fisikawan teoritis yang dipimpin Prof. Caslav Brukner dari Universitas Wina mengusulkan suatu eksperimen baru yang dapat mengamati ketumpangtindihan dari kedua teori tersebut. Fokus pekerjaan ini adalah mengukur konsep waktu relativistik umum pada skala kuantum. Temuan ini dipublikasikan minggu ini dalam Nature Communications.

Salah satu prediksi kontraintuitif relativitas umum Einstein adalah gravitasi mendistorsi aliran waktu. Teori ini memprediksi bahwa jam berdetak lebih lambat di dekat objek yang besar dan berdetak semakin cepat saat semakin menjauh dari massa. Efek ini menghasilkan “paradoks kembar”: jika salah satu kembar bergerak keluar untuk tinggal di ketinggian yang lebih tinggi, maka usianya akan lebih cepat dari usia kembar lain yang tetap tinggal di darat. Efek ini telah tepat diverifikasi dalam percobaan klasik, namun tidak dalam hubungannya dengan efek kuantum, yang merupakan tujuan dari percobaan baru yang diusulkan kali ini.
Kelompok peneliti Wina ingin mengeksploitasi kemungkinan yang luar biasa bahwa sebuah partikel kuantum tunggal dapat kehilangan properti klasiknya dalam memiliki posisi yang didefinisikan dengan baik, atau sebagaimana yang diutarakan dalam istilah mekanik kuantum: ia dapat berada dalam “superposisi”. Hal ini memungkinkan untuk efek seperti-gelombang, yang disebut interferensi, dengan sebuah partikel tunggal. Namun, jika posisi partikel diukur, atau bahkan jika secara prinsip dapat diketahui, maka efek ini menghilang. Dengan kata lain, tidak mungkin mengamati interferensi dan sekaligus mengetahui posisi partikel. Hubungan antara informasi dan interferensi merupakan contoh komplementaritas kuantum – prinsip yang diusulkan oleh Niels Bohr.
Usulan eksperimental yang sekarang dipublikasikan dalam Nature Communications ini menggabungkan prinsip tersebut dengan “paradoks kembar” dari relativitas umum.
Tim riset Universitas Wina beranggapan bahwa sebuah jam tunggal (partikel dengan perkembangan derajat kebebasan internal seperti spin) dibawa dalam superposisi dari dua lokasi – yang satu lebih dekat dan yang yang satunya lagi lebih jauh dari permukaan bumi.

Berdasarkan relativitas umum, jam berdetak pada tingkat yang berbeda pada dua lokasi, dalam cara yang sama seperti dua kembar yang berbeda usia. Tapi karena waktu yang diukur dengan jam mengungkapkan informasi di mana jam itu terletak, interferensi dan sifat-gelombang jam menjadi menghilang.
“Ini adalah paradoks kembar untuk ‘anak tunggal’ kuantum, dan membutuhkan relativitas umum serta mekanika kuantum. Interaksi antara kedua teori ini belum pernah diselidiki dalam percobaan,” kata Magdalena Zych, penulis utama makalah dan anggota Program Doktor CoQuS Wina. Dengan demikian, ini merupakan usulan pertama untuk percobaan yang memungkinkan pengujian gagasan waktu relativistik umum dalam hubungannya dengan komplementaritas kuantum.

Kredit: Universitas Wina
Jurnal: M. Zych, F. Costa, I. Pikovski, C. Brukner. Quantum interferometric visibility as a witness of general relativistic
Unknown
Menjelaskan fenomena alam melalui rumus dan persamaan fisika, justru membuat banyak orang alergi untuk mempelajarinya. Tidak berlebihan jika sebagian besar masyarakat kita menjadi fobia terhadap fisika. Meski interaksi fisika dan matematika itu sangat kuat, bukan berarti fisika hanya bisa dipahami dengan penjelasan melalui sekumpulan rumus dan persamaan fisika yang ngejelimet.
Eksplanasi fisika melalui bahasa nonteknis ternyata ampuh untuk melunturkan fobia masyarakat terhadap ilmu tersebut. Bahkan orang-orang yang tidak punya background fisika pun bisa memahami sejumlah konsepsi mengenai alam semesta.
Cara memahami fisika itu agar bisa mudah dipahami telah dilakukan oleh Guru Besar Fisika Teori Departemen Fisika ITB, Prof. Pantur Silaban, Ph.D ketika di-minta almamaternya untuk memberikan kuliah populer bertajuk "Umur Alam Semesta" di ruang 1201 Departemen Fisika ITB, Senin (30/8).
Kuliah populer itu terbilang sukses, terlihat dari begitu tingginya animo masyarakat yang menghadirinya yang selama ini baru dua kali diselenggarakan di ITB. Ka-pasitas ruang kuliah yang menampung sekira 100 orang, penuh sesak karena ada sekira 300 yang hadir dari berbagai profesi, mulai dari jenderal sampai mahasiswa baru. Bahkan, sebagian di antaranya harus rela "ngampar" di lantai dan di luar ruangan.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat juga sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang fenomena alam melalui kajian ilmiah fisika yang dijelaskan dengan bahasa sederhana. Bagaimanapun, lahirnya teori-teori fisika dari Albert Einstein di awal abad 20, telah berjasa dalam menjawab sejumlah rahasia alam.
DALAM kuliah populernya tersebut, Prof. Silaban, ilmuwan lulusan Syracuse University, New York menerangkan mengenai bagaimana alam semesta ini terbentuk. Prof. Silaban mengambil model yang paling populer, yaitu model Robertson, Walker, dan Friedmann menjelaskan teori bagaimana alam semesta itu terjadi.
Teori itu mengatakan bahwa alam semesta diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu pertama alam semesta terbuka di mana alam semesta mengembang selamanya. Jadi, alam semesta itu tak pernah mati. Kedua, alam semesta tertutup di mana alam semesta itu hidup, lahir, dan kemudian mati. Ketiga, alam semesta datar. Alam semesta jenis ini hidup tetapi kemudian flat dan akhirnya mengembang sampai tak berhingga.
Dalam aplikasinya, model Robertson, Friedmann, dan Walker itu memang mendorong orang untuk berimajinasi bahwa alam semesta itu ada awalnya. Menurut model ini, kelahiran alam semesta itu selalu diawali dengan dentuman besar (big bang) yang terjadi pada waktu planck, yaitu 10 pangkat minus 43 detik setelah permulaan waktu. Sebagai gambaran, jika waktu planck dibandingkan dengan waktu 1 detik maka perbedaannya sa-ngat besar. Satu detik jauh lebih kecil daripada waktu planck.
Alam semesta yang masih bayi tersebut memiliki temperatur yang sangat panas yaitu 10 pangkat 32 kelvin. Untuk perbandingan 100 derajat celcius setara dengan 373,5 kelvin. Orang yang tersiram air mendidih (100 derajat celcius), kulitnya akan langsung melepuh. Bagaimana bila orang tersiram air panas bersuhu 10 pangkat 32 kelvin. Tampaknya, belum mencapai suhu tersebut saja, orang akan gosong.
Selain suhu yang sangat panas, bentuk alam semesta pada waktu planck tersebut supermini, tidak bisa dilihat secara kasat mata. Bayangkan saja diameter bayi alam semesta hanya 10 pangkat minus 33 cm, jauh lebih kecil dari seperibu cm. Kita butuh mikroskop, bagaimana untuk melihat bayi alam semesta?
Bayi yang berupa titik ini kemudian berkembang. Pada saat usia bayi tersebut mencapai 200 detik (3 jam 20 menit), temperatur alam semesta sudah jauh menurun menjadi satu triliun kelvin. Karena terus berkembang, bayi alam semesta yang usianya kurang dari 4 jam tersebut, ukurannya pun membengkak menjadi 10 pangkat 20 cm. Saat umur itulah, terjadi sintesis nukleon helium.
Bayi tersebut terus berkembang menjadi materi yang ditandai de-ngan terbentuknya atom hidrogen. Untuk membentuk atom tersebut, butuh waktu 10 pangkat 14 detik. Saat itu temperatur alam semesta pun menurun menjadi hanya seribu kelvin. Proses ini menyebabkan diameter alam semesta membengkak menjadi 10 pangkat 26 cm. Setelah atom hidrogen terbentuk, pada usia 10 pangkat 18 detik, alam semesta pun menemui bentuknya seperti yang ada sekarang.
Di usianya tersebut, suhu turun drastis menjadi 3 kelvin atau -270,15 derajat celcius. Sedangkan ukurannya pun membesar menjadi 10 pangkat 28 cm. Ini belum merupakan akhir dari perkembangan semesta alam dan dari titik ini, para fisikawan masih belum mengetahui ke mana arah perkembangan semesta alam. Yang jelas, berdasarkan teori yang menyatakan bahwa alam semesta adalah alam semesta tertutup, maka pada suatu saat akan mati. Tidak ada yang tahu kapan itu terjadi.
Bagaimanpun, masih banyak rahasia alam yang belum terungkap. Tetapi, setidaknya dengan kehadiran para fisikawan seperti Einstein, Bergmann, yang meneliti fenomena alam dan kemudian merumuskannya dalam sejumlah formula fisika telah membantu manusia mengungkap sedikit tabir yang menutupi alam semesta kita. 
Unknown
Penelitian baru dari Niels Bohr Institute memberi informasi baru yang menambah satu bagian pengetahuan mengenai misteri gelap di angkasa yaitu benda hitam. Penelitian ini dipublikasikan pada jurnal sains Physical Review Letters.
Jagad raya tidak hanya terdiri dari benda langit yang terlihat seperti bintang, planet dan galaksi tapi juga memiliki hal misterius seperti benda hitam. Astronom telah dapat mengukur bahwa benda hitam mempunyai jumlah besar namun tidak ada yang tahu karena tak pernah terlihat. Benda ini tidak memancarkan atau memantulkan cahaya, tidak terlihat, dan merupakan sebuah misteri sehingga para peneliti memiliki banyak teori.
Benda hitam telah membuat pusing peneliti sejak terdeteksi pada dekade 1970-an, dan menyebabkan penelitian intensif pada fenomena tersebut. Benda ini tak terlihat tapi memiliki massa sehingga gaya gravitasinya dapat diukur. Dengan menganalisa galaksi, dapat diukur berat benda hitam yang ternyata merupakan benda dengan massa kolektif terbesar di galaksi.
Seperti bintang yang banyak terdapat di galaksi. Galaksi juga berkelompok bahkan jumlahnya dapat mencapai ribuan. Peneliti fisika astronomi Signe Riemer-Sørensen, PhD dari Niels Bohr Institute, telah menganalisa dua kelompok galaksi yang bertabrakan.


Kelompok galaksi yang bertabrakan dianalisa
Ketika dua kelompok galaksi bertemu baik galaksi maupun benda hitam sebenarnya tidak bertabrakan. Tetapi sekitar 12 persen massa kelompok galaksi adalah awan besar dari gas dan debu . Nah awan inilah yang bertabrakan. Awan gas ini panas dan mengeluarkan sinar-x yang dapat diamati, sehingga dapat dilihat proses pendorongan keluar awan dari kelompok galaksi ketika bertabrakan. Ketika awan bertabrakan awan itu semakin panas dan mengeluarkan sinar-x lebih banyak sehingga menghasilkan gas.
Pengamatan menunjukkan bahwa benda hitam mungkin adalah jenis partikel baru yang belum terdeteksi. Beberapa dugaan mengatakan benda hitam merupakan partikel yang memancarkan sinar-x ketika meluruh. Salah satunya adalah axions, yaitu partikel yang dalam teorinya memiliki dimensi ekstra. Jadi untuk melihat sinar-x benda gelap, peneliti mencari lokasi dimana terdapat konsentrasi benda hitam tinggi tetapi tidak ada gas. Kondisi ini dipenuhi pada dua kelompok galaksi yang bertabrakan dimana awan gasnya telah didorong keluar.
Signe Riemer-Sørensen telah menganalisa satu kelompok galaksi yang bertabrakan. Analisa menunjukkan bahwa kelompok tersebut sangat berat dan memiliki banyak galaksi. Pengukuran gravitasi menunjukkan terdapat benda hitam sekitar 85 persen dari massa kolektifnya, namun tidak ada sinar-x apapun yang terukur.
Ketika benda hitam tidak memancarkan sinar-x secara signifikan maka mungkin untuk menghitung batas atas kecepatan peluruhan dan waktu hidup partikel. Hasilnya jika axion adalah benda hitam maka waktu hidupnya melebihi 3.000.000 milyar tahun. Jika dugaan ini benar maka hanya sedikit benda hitam yang meluruh jika ia terbentuk 13.7 milyar tahun lalu. Kesimpulannya adalah benda hitam memiliki waktu hidup yang sangat sangat sangat lama.